TRAGEDI TRAGEDI DI INDONESIA

Image result for di tii
Sejarah DI/TII BUKANLAH PEMBERONTAKAN!
1. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Gerakan DI/TII  di Jawa Barat tampak pada waktu terjadi penarikan pasukan TNI dari wilayah yang diduduki Belanda ke wilayah RI sebagai akibat perundingan Renville. Akan tetapi, anggota Hizbullah dan Sabilillah tidak mengikuti ketentuan perundingan Renville. kedua laskar itu berada di bawah pimpinan Seoekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.


Semula Kartosuwirjo ikut bergerilya di daerah Jawa Barat. Ia ingin membentuk negara Islam lepas dari Republik Indonesia. Untuk itu ia menghimpun orang-orang yang setia kepadanya untuk masuk tentara Darul Islam. Pada tanggal 4 Agustus 1949 Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).

Tindakan Kartosuwirjo itu membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Rakyat pun sangat dirugikan karena Kartosuwirjo dan anggotanya melakukan teror, pembunuhan, pengrusakan, dan pengambilan harta kekayaan masyarakat secara paksa.

Penumpasan Gerakan DI/TII di Jawa Barat memakan waktu yang lama. Baru pada tahun 1960-an, Divisi Siliwangi mulai melancarkan operasi secara terstruktur dan besar-besaran. Dengan dibantu rakyat dalam operasi "Pagar Betis", pada saat tahun 1962 gerombolan DI/TII ditangkap dan di hancurkan oleh pemerintahan RI. Kartosuwirjo  ditangkap di Gunung Geber, ia kemudian di hukum mati dan jenazahnya di kuburkan di suatu pulau yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaanya.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah



Perjuangan DI/TII memperoleh dukungan dari Jawa Tengah. Tokoh utamanya adalah Amir Fatah. Ia sebelumnya adalah pejuang dan komandan laskar Hizbullah. Selanjutnya ia berhasil mempengaruhi laskar Hizbullah yang ingin bergabung dengan TNI di Tegal.

Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri dan bergabung dengan DI/TII Kartosuwirjo tanggal 23 Agustus 1949. Mereka membentuk pemerintah tandingan di daerahnya.

Gerakan yang sama juga ada di Kebumen. Pemimpinnya adalah Mohammad Mahfu'dh Abdulrachman atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Sumolangu. Gerakannya juga merupakan penerus DI/TII Kartosuwirjo dengan markas di Brebes dan Tegal. Pembelotan ini merupakan pukulan bagi TNI saat itu.

Pemerintah lalu membentuk pasukan Benteng Raiders untuk menghadapi gerakan tersebut. Denan pasukan ini, pemerintah menggelar operasi Gerakan Banteng Negara. Sisa-sisa gerakan DI/TII di Jawa Tengah kemudian berhasil dikalahkan oleh pemerintah melalui Operasi Guntur.

Pada mulanya gerakan DI/TII di Jawa Tengah sudah mulai terdesak oleh TNI. Namun, pada bulan Desember 1951 mereka menjadi kuat kembali karena mendapat pertolongan dari Batalyon 426. Batalyon 426 di daerah Kudus dan Magelang memberontak dan menggabungkan diri menjadi DI/TII.

Kekuatan Batalyon pemberontak ini dapat dihancurkan. Sisa-sisanya lari ke Jawa Barat berbagabung dengan DI/TII Kartosuwirjo.

Sementara itu, di daerah Merapi dan Merbabu terjadi kerusuhan oleh gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini dapat dihancurkan TNI pada bulan April 1952. Sisa-sisanya bergabung dengan DI/TII. Kekuatan DI/TII di daerah Jawa Tengah yang semula dapat dipatahkan justru menjadi kuat lagi karena bergabungnya sisa-sia Batalyon 426.Untuk melawan perjuangan itu, segera dibentuk pasukan Banteng Raiders. Pasukan itu selanjutnya mengadakan operasi kilat yang dinamakan Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954, gerakan DI/TII di Jawa Tengah dapat dikalahkan setelah pusat kekuatan gerakan DI/TII di perbatasan Pekalongan-Banyumas dihancurkan.
Tragedi PRRI
Pemberontakan PRRI ( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia )
Munculnya PRRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia adalah suatu reaksi dari bangsa Indonesia atasa ketidak puasan pada pemerintah pusat. Pergolakan pertama kali terjadi di Sumatra pada akhirnya 1956. Pada awal 1957, muncul Dewan Banteng di Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) dipimpin Letkol Ahmad Husein, Dewan Gajah di Sumatra Utara dipimpin Kolonel M Simbolon dan Dewan Garuda di Sumatra Tengah dipimpin oleh Letkol Barlian kesemuanya tergabung dalam PRRI Dan kemudian gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dimana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI
Dewan-dewan ini lahir sebagai reaksi dari situasi bangsa dan negara ketika itu. Awal pemberontakan PRRI di Sumatra Tengah terjadi menjelang pembentukan Republik Indonesia Serkat (RIS) pada tahun 1949. Penciutan Divisi Banteng pada Oktober 1949 menjadi satu brigade terdiri atas batalyon-batalyon besar di Sumatra Tengah. Akibatnya sejumlah prajurit terpaksa pulang kampung termasuk Ahmad Husein. Selain itu, pembangunan di Sumatra Tengah terasa sangat lambat dan menghadapi masalah.
Keadaan ini juga menggugah hati sejumlah perwira bekas Divisi Banteng yang masih bertugas. Selain itu juga menggugah berbagai tokoh politik dan sasta yang pernah bergabung dengan Divisi Banteng. Keprihatinan ini melahirkan gagasan mencari penyelesaian dengan mengadakan pertemuan pada 21 September 1956 di kompleks perumahan Persari milik Jamaludin Malik di Jakarta. Kemudian disusul dengan reuni di Padang 11 Oktober 1956 dan menyusul pertemuan-pertemuan yang lain. Reuni divisi Banteng ini menghasilkan keputusan untuk menyelesaikan masalah-masalah negara terutama perbaikan progressive di tubuh angkatan darat diantaranya adalah dengan menetapkan peabat-pejabat daerah yang jujur dan kreatif, menuntut agar diberi otonomi luas untuk daerah Sumatra tengah serta menuntut ditetapkannya eks Divisi Banteng Sumatra Tengah yang diciutkan menjadi kesatuan pelaksana Proklamasi sebagai satu korps dalam angkatan darat.
Pada tanggal 22 Desember 1956 Kolonel Simbolon pemimpin Dewan Gajah melalui RRI Medan mengumumkan pemutusan hubungan wilayah bukit barisan dengan pemerintah pusat. Ia mengubah nama kodam TT I menjadi Kodam TT I Bukit Barisan. Dia melihat pada permasalahan kesejahteraan dan perumahan prajurit yang sangat memprihatinkan. Karena keterbatasan dana dari pusat maka Kolonel Simbolon mencari jalan sendiri membangun asrama dan perumahan prajurit. Dia mencari dana sendiri namun sayang cara yang digunakan adalah cara illegal. Dia menjual secara illegal hasil perkebunan di wilayah Sumatra Utara. Ekspor hasil perkebunan dijual melalui Teluk Nibungh di Muara Sungai Asahan Tanjung Balai. Namun, pers ibukota memberitakan penyulundupan itu dan kasad memerintahkan pemeriksaan pada ksus ini. Kasad pun bermaksud menggantikan panglima TT I Bukit Barisan dengan kolonel Lubis. Melihat situasi yang gawat, simbolon mengadakan rapat perwira yang disebut “Ikrar 4 Desember 1956”. Pada 27 Desember 1956 subuh, simbolon menerima berita ada pasukan yang diperintahkan menangkapnya. Dengan perlindungan dari Batalyon 132 dibawah Kapten Sinta Pohan, dia bergerak ke Tapanuli bergabung dengan Resimen III Mayor J Samosir.
Di Sumatra Selatan Dewan Garuda menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan tokoh-tokoh militer di wilayah tersebut. Ini berlangsung menjelang Musyawarah Nasional September 1957 dan melahirkan Piagam Palembang sebagai dasar perjuangan bersama dari daerah-daerah bergolak. Namun sebenarnya dalam tubuh Dewan garuda terjadi keretakan. Dewan Garuda bersifat mendua. Ini disebabkan tokoh-tokoh militer masih berhubungan dengan kasad sehingga segala perkembangan Dewan garuda Dapat diketahui oleh pemerintah pusat di Jakarta. Tetapi dilain fihak Dewan Garuda juga memihak pada dewan Banteng. Keretakan ini juga mengakibatkan pada saat konflik bersenjata antara PRRI dengan pemerintahan pusat Dewan Garuda memihak pada pemerintah Pusat.
PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI membentuk Kabinet baru, Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini berlangsung saat Persiden Soekarno sedang berada di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958 sebuah Dewan Perjuangan melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan pada Persiden Soekarno agar “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”
.Tuntutan tersebut diantaranya adalah:

1. Supaya kabinet Djuanda mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya pada Presiden.

2. Agar pejabat persiden Sartono membentuk kabinet baru Zaken kabinet nasional yang bebas dari pengaruh komunis dibawah Mohammad Hatta dan Hamengkubuwono IX.
3. Agar kabinet baru diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilihan umum yang akan dating.
4. Agar Persiden Soekarno membetasi diri menurut konstitusi.
5. Apabila tuntutan diatas tidak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri.
Tuntutan-tuntutan ini ditolak oleh pemerintah pusat. Reaksi dari PRRI adalah dengan mengumumkan pendirian Pemerintahan Tandingan yaitu Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) lengkap dengan kabinetnya pada tanggal 15 Februari 1958. Susunan Kabinet PRRI adalah sebagai berikut:



1.Syarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri dan Menteri Keuangan.
2. M Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri.

3.Burhanudin Harahap sebagai Menteri Pertahanan dan menteri kehakiman.

4.Dr.Sumitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perhubungan/Pelayaran

B. Reaksi Pemerintah Pusat
Tuntutan Dewan Perjuangan ini dikumandangkan saat Persiden Soekarno sedang tidak ada di tempat. Beliau sedang berada di Tokyo, Jepang. Maka Kabinet Djuanda segera mengambil keputusan. Tuntutan PRRI ini ditolak dan sehari setelah pengambilan keputusan, keputusan disiarkan melalui radio dan perintah-perintah selanjutnya dikeluarkan yakni semua tuntutan Dewan Perjuangan ditolak dan sejalan dengan itu diambil keputusan memutuskan hubungan darat dan udara dengan Sumatra. Kemudian diikuti dengan pembekuan komando militer di Sumatra (TT I Sumatra Utara dan TT II Sumatra Selatan) dan seterusnya.
Setelah Persiden Soekarno kembali dari luar negri pada 16 Februari 1958 Persiden Soekarno menyatakan “Kita harus menghadapi penyelewengan tanggal 5 Februari 1958 di Padang dengan segala kekuatan yang ada pada kita”. Diputuskan akan menggunakan kekerasan senjata untuk menghadapi Dewan Kabinet PRRI. Persiden Soekarno memerintahkan untuk menangkap tokoh-tokoh PRRI. Hubungan darat maupun udara dengan Sumatra Tengah dihentikan.
Tidak semua tokoh dalam pemerintah pusat setuju dengan keputusan ini. Salah seorang yang menentang keputusan ini adalah Mohammad Hatta. Sebagai Wakil Persiden dia muncul ke depan menentang keputusan ini. Dia mengirim utusan ke Padang untuk menemui Ahmad Husein dan meminta agar Dewan Banteng menghindari konflik bersenjata dengan pemerintah pusat namun entah mengapa utusan ini tidak pernah sampai ke Padang. Karena pengiriman utusan gagal maka Mohammad Hatta berusaha untuk mendekati Persiden Soekarno agar mengurungkan niatnya agar tidak meletus perang saudara. Namun usaha ini juga gagal. Pada tanggal 20 dan 21 Februari 1958 serangan ke Padang dimulai. Serangan dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani dengan diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus. PRRI mendapat dukungan rakyat Sumatra Tengah.
Serangan dilaksanakan. Pemerintah pusat menyerantg Padang. Padang dijatuhi bom-bom yang mengakibatkan kota ini hancur. Banyak rakyat padang yang mengungsi ke daerah Solok dengan membawa barang-barang seadanya yang dapat dibawa. Tokoh-tokoh PRRI ditangkap. PRRI mendapat dukungan Permesta. Akhirnya PRRI dapat ditumpas. Setelah PRRI berhasil ditumpas maka untuk mencegah munculnya pemberontakan serupa Suprapto diangkat menjadi Deputi Republik Indonesia Staf Angkatan Darat Untuk Wilayah Sumatra yang bermarkas di Medan. Peristiwa ini meninggalkan trauma bagi rakyat Sumatra.
C. Antara Perjuangan dan Pemberontakan
Batas antara benar dan salah sangatlah tipis, tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Demikian juga batas antara perjuangan dan pemberontakan. Mungkin akan lebih mudah bila kita hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Perkara seakan-akan terlihat jelas dan mutlak. Namun masalah akan muncul saat kita melihatnya dari berbagai sudut pandang. 
PRRI adalah hasil akumulasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat dan juga kekecewaan anggota resimen 6 Divisi IX Banteng yang dibonsaikan oleh pemerintah pusat. PRRI menganggap terjadi kesenjangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa. Keadaan ini menimbulkan kekecewaan dalam diri perwira-perwira PRRI. Namun sebenarnya kesenjangan ini dapat difahami memngingat umur RI yang masih tergolong muda untuk suatu negara pada saat itu tidaklah mungkin untuk melakukan pembangunan secara merata pada seluruh wilayah Indonesia. Selain keterbatasan waktu, keterbatasan dana juga mempengaruhi kesenjangan ini.
Alasan lain dari munculnya PRRI ini adalah pelanggaran konstitusi oleh pemerintah pusat dan Persiden Soekarno. Alasan ini lebih relevan jika digunakan oleh PRRI untuk melegalkan gerakannya, mengingat Persiden Soekarno yang melakukan eksperimen politik untuk menemukan bentuk pemerintahan yang cocok dengan bangsa Indonesia. Namun Persiden Soekarno tidak sadar bahwa berganti-gantinya bentuk pemerintahan ini tidak sepenuhnya dapat diikuti oleh bangsa Indonesia sehingga terjadi berbagai pelanggaran pada UUD1945 sebagai dasar bangsa Indonesia Merdeka. Pelanggaran-pelanggaran inilah yang memunculkan ketidak puasaan daerah. Muncul keinginan daerah untuk meluruskan kembali pemerintah pusat sehuinggta muncul gerakan-gerakan. Keadaan menjadi semakin parah dengan merasuknya pengaruh komunis dalam pemerintah pusat yang terlihat dalam faham nasakom yang dicanangkan oleh Persiden Soekarno.
Keadaan inilah yang menjadikan gerakan PRRI muncul. PRRI sangat anti pada komunis. PRRI menyampaikan tuntutannya dalam Piagam perjuangan. Tuntutan-tuntutan tersebut bersifat memaksa maka pemerintah pusat menganggapnya sebagai ultimatum, namun PRRI tidak menganggap tuntutan tersebut sebagai ultimatum. Dari kalimat “Apabila tuntutan diatas tidak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam, maka Dewan Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri” terlihat bahwa tuntutan ini bersifat memaksa dan tepat jika dikatakan sebagai sebuah ultimatum, walaupun PRRI tidak mengakuinya. Daerah berani mengultimatum pemerintah pusat itu sudah merupakan pemberontakan pada kekuasaan pusat . Maka pemerintahpun bereaksi keras. Namun reaksi pemerintahpun kurang bijak. Harusnya pemerintah pusatpun harus instropeksi diri terlebih dahulu. Pemerintah pusat hanya melakukan sedikit usaha damai yang tidak ada artinya sama sekali sehingga penumpasanpun dilaksanakan.
Namun jika gerakan ini disebut sebagai pemberontakan tampaknya juga kurang tepat. Jika ini suatu pemberontakan maka mereka akan berusaha untuk membentuk pemerintahan baru dan menggulingkan Sang Penguasa. Namun disini PRRI tidak berusaha untuk menggulingkan Pesiden Soekarno. Tepatkah gerakan ini dianggap sebagai gerakan pemberontakan. Apalagi gerakan ini tidak hanya berasal dari golongan politik dan militer saja tetapi juga berasal dari golongan-golongan lain misalnya golongan pendidikan. Gerakan ini hanya berusaha untuk memperbaiki keadaan Indonesia, meluruskan pemerintah pusat agar sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia merdeka.
PRRI hanya menginginkan perbaikan dalam tubuh pemerintah dan tentara yang menurutnya tidak adil dan telah terkontaminasi oleh faham-faham komunis. Dilihat dari sini kita akan melihat bahwa PRRI merupakan suatu perjuangan untuk melaksanakan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang demokratis yang memiliki pemerintahan yang adil. Hanya saja Pemerintah Pusat beranggapan lain. Pemerintah Pusat menganggap Padang tidak lagi memiliki hak untuk mengkoreksi pemerintah pusat. Jika ingin mengkoreksi ada jalur tersendiri. Rakyat bisa menyalurkannya lewat wakil-wakilnya, namun pada masa itu jalur itu memang kurang dapat berjalan dengan baik. Akibatnya pemerintah pusat menganggap gerakan ini sebagai gerakan pemberontakan. Anggapan ini diperkuat dengan indikasi adanya bantuan Amerika Serikat pada PRRI (walau saat pergolakan terjadi bantuan dihentikan). Tanpa berpikir panjang Pemerintah Pusat melakukan penumpasan.

Tragedi RMS(Republik Maluku Selatan)
Sejarah kelam RMS yang telah membantai kaum muslimin Maluku menjadi catatan tersendiri dalam daftar kejahatan kemanusiaan yang dilakukan RMS.
Peristiwa terbaru yang masih membekas dalam ingatan warga muslim Ambon adalah HUT RMS berdarah pada 25 April 2004. Kala itu simpatisan RMS melakukan pembantaian terhadap kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mereka mengadakan upacara bendera memperingati HUT RMS.
Buntut dari upacara peringatan HUT RMS tersebut memicu terjadinya konflik dan kerusuhan di dalam kota Ambon selama satu pekan lebih. Akibatnya puluhan kaum muslimin tewas,  ratusan lainnya luka-luka dan ratusan rumah milik warga muslim hangus dibakar oleh para kader dan simpatisan Kristen RMS.
Peristiwa itu betul-betul dikenang oleh kaum muslimin sebagai sebuah tragedi yang memilukan. Para keluarga korban yang anggota keluarganya tewas dibantai oleh para pengikut RMS delapan tahun silam, hingga saat ini masih merasakan kepiluan dan trauma atas peristiwa tersebut.
Diantara keluarga korban yang berhasil ditemui oleh voa-islam.com di Ambon adalah Ny Salma Lisaholit. Saat itu ia kehilangan anak ketiganya yang bernama Muhammad Haris Samal (21 tahun) yang menjadi korban pembantaian RMS pada 27 April 2004.
Muhammad Haris adalah mahasiswa Universitas Pattimura semester enam, Fakultas Tehnik, tewas terkena tembakan pada bagian rusuk kiri tembus ke rusuk belakang. Haris tewas di daerah Talake ketika bersama-sama dengan kaum muslimin lainnya berjihad menghalau gerombolan RMS yang akan menyerang permukiman Muslim di Talake.
Tembakan sniper RMS yang mengenai rusuk kirinya menyebabkan nyawa Haris tidak tertolong dan meninggal ketika dalam perjalanan menuju Rumah sakit Al Fatah Ambon.
Ny Salma Lisaholit dan putrinya Nona Ijah Samal yang bermukim di desa Batumerah, kecamatan Sirimau kota Ambon menceritakan kesedihan mereka karena kehilangan putranya, Haris delapan tahun yang lalu.
Kesedihan saat peristiwa HUT RMS ternyata bukan yang terakhir,  Ny Salma Lisaholit kembali kehilangan putranya pada tragedi 11 September 2011 lalu. Putra keempatnya yang bernama Ismail Samal alias Boby menjadi korban penembakan pada 12 September 2011 pukul 02.00 WIT saat terjadi kerusuhan di Mardika, Ambon.
Ismail adalah adik dari Haris yang menjadi korban pembantaian RMS pada 2004. Ismail juga mengalami tembakan pada rusuk kirinya yang tembus ke belakang rusuknya yang menyebabkan ia meninggal di tempat sebelum sempat mendapat pertolongan medis.
Keluarga korban pembantaian RMS pada 2004 lainnya yang berhasil ditemui voa-islam.com adalah keluarga Abdul Wahid (69 tahun) yang kehilangan putranya Muhammad Anwar Faishal yang tewas pada 27 April 2004.
Keterangan yang berhasil dihimpun  dari sang ayah menyebutkan bahwa pagi hari tanggal 27 April 2004, anaknya meminta izin untuk berangkat ke tempat kerja. Abdul Wahid sempat mengingatkan anaknya agar tidak pergi ke Batu Gantung (wilayah Kristen tempat terjadinya bentrokkan) karena ketika itu bentrokkan antara massa Islam dan Kristen sebagai buntut perayaan HUT RMS masih terus terjadi.
Sepengetahuan Abdul Wahid, anaknya pergi menuju toko tempatnya bekerja, namun ternyata ia bergabung dengan teman-temannya menuju Batu Gantung untuk berjihad menghadang massa Kristen yang akan menyerang permukiman Muslim di Talake.
Lagi-lagi Anwar terkena tembakan sniper pada bagian mulutnya yang tembus ke belakng kepalanya dan menyebabkan ia meninggal di tempat kejadian tanpa sempat mendapat pertolongan medis.
Abdul Wahid yang masa kecilnya mengalami zaman RMS mengatakan bahwa ia menyaksikan bagaimana kejam dan biadabnya RMS kala itu. Ia menyaksikan ayah kandungnya disiksa dengan keji oleh tentara RMS. Saat itu kampung tempat tinggal Abdul Wahid dibakar oleh RMS karena diketahui penduduknya beragama Islam.
Orang tua lintas zaman yang menyaksikan kebiadaban RMS itu  juga menceritakan bahwa di kampungnya Desa Wakasihu dulu pernah ada tujuh warganya yang dikubur hidup-hidup oleh RMS. Oleh sebab itu mengingatkan bahwa RMS adalah musuh kaum muslimin, karenanya generasi Islam harus waspada terhadap makar RMS, sebab yang menjadi sasaran dari gerakan mereka adalah membantai kaum Muslimin. Maka,  jika ada kaum muslimin yang bergabung atau mendukung RMS maka dia itu munafik.
Dari kisah kebencian RMS yang kerap membantai umat Islam, maka tak heran jika masyarakat muslim Ambon lebih percaya jika RMS sebenarnya bukan Republik Maluku Selatan, namun Republik Maluku Sarani.
Semoga, sederet fakta sejarah kelam kejahatan RMS ini menjadi pelajaran kaum muslimin Maluku agar  senantiasa waspada terhadap setiap makar salibis RMS
Tragedi APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
          adalah milisi dan tentara swasta pro-Belanda yang didirikan pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Milisi ini didirikan oleh mantan Kapten DST KNIL Raymond Westerling setelah demobilisasinya dari kesatuan Depot Speciale Troepen (depot pasukan khusus KNIL) pada tanggal 15 Januari 1949. Nama milisi ini berasal dari bagian dari kitab ramalan Jawa Kuno Ramalan Jayabaya yang meramalkan kedatangan seorang “Ratu Adil” yang merupakan keturunan Turki. Karena mempunyai warisan darah campuran Turki, Westerling memandang dirinya sebagai sang “Ratu Adil” yang diramalkan akan membebaskan rakyat Indonesia dari “tirani”. 
Westerling berusaha untuk mempertahankan adanya negara-negara federal dalam Republik Indonesia Serikat melawan kesatuan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta yang dianggapnya didominasi oleh orang Jawa. APRA direkrut dari 18 faksi anti-Republik yang beragam, termasuk personel mantan gerilyawan Republik, Darul Islam, Ambon, Melayu, Minahasa, KNIL yang telah didemobilisasi, Regiment Speciale Troepen (Resimen Pasukan Khusus KNIL), dan Tentara Kerajaan Belanda. Tahun 1950, APRA telah berevolusi dari serangkaian unit pertahanan diri pedesaan menjadi kekuatan tempur berjumlah 2.000 personel. 
Tragedi G 30 S/PKI
Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, disingkat G 30 S PKIG-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha kudeta.
Latar belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekret presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dengan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jenderal-jenderal tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jenderal-jenderal militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Peristiwa
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
  • Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  • Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
  • Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
  • Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
  • Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas IndonesiaDepok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.


Comments

Popular posts from this blog

Bahaya Komunis dan Liberalis terhadap Ideologi Pancasila

SEJARAH MUSLIM ROHINGYA

PENGERTIAN PENGERTIAN HUKUM